JOKO TOLE Vs AGUS WEDI
Pada zaman dahulu kala, yaitu sekitar
abad 13, di Madura, tepatnya di Sumenep, ada seorang raja yang bernama
Pangeran Mandaraga. Disebut Mandaraga karena tempat tinggalnya di
Mandaraga. Pangeran Mandaraga mempunyai dua orang putera, yang pertama
adalah Pangeran Bukabu, dan yang kedua adalah Pangeran Baragung.
Disebut Bukabu karena tempat tinggalnya di Bukabu, dan Baragung karena
tempat tinggalnya di Baragung.
Ketika Raja Mandaraga wafat, jenazahnya
dimakamkan di tempat itu juga (sekarang Mandaraga menjadi sebuah
kampung di Desa Keles Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep). Di sebelah
timur laut sumber Mandaraga adalah makam Pangeran Mandaraga, yang oleh
orang-orang desa itu disebut “Asta Patapan”, (makam pertapaan), karena
pada zaman dahulu banyak orang yang datang bertapa di tempat yang
dikeramatkan itu.
Tak banyak diceritakan mengenai
kehidupan Raja Mandaraga termasuk kedua puteranya, yaitu Pangeran
Bukabu dan Pangeran Baragung. Yang diceritakan hanya Pangeran Bukabu
dan Pangeran Baragung meninggal dunia. Jenazah Pangeran Bukabu
dimakamkan di Bukabu (sekarang Bukabu menjadi sebuah desa di Kecamatan
Ambunten Kabupaten Sumenep). Sedangkan Pangeran Baragung dimakamkan di
Baragung (sekarang Baragung menjadi sebuah desa di Kecamatan
Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep). Pangeran Bukabu banyak menurunkan Para
Kyai dan alim ulama di Madura umumnya dan di Sumenep pada khususnya.
Pangeran Baragung meningggalkan seorang
puteri yang bernama Endhang Kilengan. Ia bersuamikan Bramakanda. Dan,
dalam perkawinannya itu, mereka dikarunia seorang putera yang bernama
Wagungrukyat. Setelah Wagungrukyat menginjak dewasa, ia menjadi raja di
Sumenep, dengan julukan Pangeran Saccadiningrat. Keratonnya terletak
di Desa Banasare (sekarang Banasare termasuk Kecamatan Rubaru).
Pangeran Saccadiningrat kawin dengan
saudara sepupu ibunya, yaitu Dewi Sarini. Tidak lama mereka dikaruniai
seorang puteri bernama Saini, dengan julukan Raden Ayu Potre Koneng.
Kulitnya mengkilat serta memiliki wajah yang sangat cantik.
Setelah Raden Ayu Potre Koneng
menginjak remaja, bapak ibunya menghimbau agar ia kawin. Namun, ia
menolak karena tidak mengetahui sama sekali tentang masalah perkawinan.
la lebih senang berbakti kepada Allah daripada kawin. Karma itu pada
suatu hari, ia berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke goa
Payudan. Ia akan bertapa di tempat tersebut. Setelah direstui oleh ibu
bapaknya, lalu ia berangkat bersama tiga orang pengiringnya.
Dalam menjalani masa pertapaannya itu, Raden Ayu Potre Koneng tidak makan, tidak minum, dan tidak Pula tidur. Setelah sampai tujuh malam, ketika itu malam tanggal empat belas, ia tertidur. Dalam tidurnya itu, ia bermimpi didatangi seorang laki-laki yang roman mukanya sangat tampan. Laki-laki tersebut mengaku bernama Adipoday. Ketika itu Raden Ayu Potre Koneng terkejut, lalu bangun, “Oh, aku bermimpi,” katanya. Setelah pagi hari ia pulang ke Sumenep.
Dalam menjalani masa pertapaannya itu, Raden Ayu Potre Koneng tidak makan, tidak minum, dan tidak Pula tidur. Setelah sampai tujuh malam, ketika itu malam tanggal empat belas, ia tertidur. Dalam tidurnya itu, ia bermimpi didatangi seorang laki-laki yang roman mukanya sangat tampan. Laki-laki tersebut mengaku bernama Adipoday. Ketika itu Raden Ayu Potre Koneng terkejut, lalu bangun, “Oh, aku bermimpi,” katanya. Setelah pagi hari ia pulang ke Sumenep.
Alkisah, ada dua orang pertapa
bersaudara. Mereka adalah putera-putera Panembahan Balinge yang
bergelar Ario Pulangjiwo. Yang seorang bernama Adipoday, dan yang satu
lagi bernama Adirasa. Adipoday bertapa di gunung Gegger, dan Adirasa di
ujung gelagah.
Dari hari ke hari, bulan berganti
bulan, kini perut Raden Ayu Potre Koneng semakin besar. Ia hamil. Dan
kehamilannya itu, membuat bapak ibunya marah, hingga pada suatu hari ia
akan dihukum mati. Bapak ibunya tidak kuat menahan rasa malu karma
puteri satu-satunya hamil diluar nikah. Bapak ibunya akan merasa malu
andaikata peristiwa ini didengar oleh raja-raja yang lain. Di samping
itu, akan mencemarkan nama baik kerajaan clan keluarga besar keraton.
Itulah pandangan kedua orang tua Raden Ayu Potre Koneng mengenai
kehamilan puterinya.
Apa yang terjadi setelah Pangeran
Saccadiningrat memberi putusan hukuman mati terhadap puterinya?
Berbagai upaya dilakukan oleh permaisuri, para menteri dan Patih yang
menaruh belas kasihan kepada Raden Ayu Potre Koneng. Mereka mengadakan
perundingan, mencarikan jalan untuk memperoleh keringanan cara untuk
melunakkan hati baginda raja. Akhirnya, baginda raja berkenan merubah
keputusannya, dengan syarat supaya puterinya tidak sampai terlihat
beliau.
Dengan batalnya keputusan hukuman mati itu, Raden Ayu Potre Koneng disembunyikan agar tidak terlihat baginda raja.
Dengan batalnya keputusan hukuman mati itu, Raden Ayu Potre Koneng disembunyikan agar tidak terlihat baginda raja.
Begitulah, ketika kandungannya berusia
sembilan bulan, maka pada suatu malam bertepatan dengan tanggal empat
belas, Raden Ayu Potre Koneng melahirkan seorang bayi laki-laki. Sang
puteri melahirkan tanpa mengucurkan darah setetes pun, dan tanpa
mengeluarkan ari-ari pula. Sang bayi tampak elok, bersih, dan
berseriseri, mengingatkan sang puteri kepada orang yang pernah datang
dalam mimpinya.
Kelahiran bayi mungil itu membuat sang
puteri me rasa takut dan malu pada bapak ibunya. Ta takut disangka
berbuat yang tidak baik. Karena itu, Raden Ayu Potre Koneng memanggil
dayangnya.
“Mbok! Sebenarnya aku tidak tega
menyingkirkan bayi ini. Tapi apes boleh buat, inilah satu-satunya cares
terbaik,” kata sang puteri memelas.
“Maksud Tuan puteri?” tanyanya agak heran.
“Bawalah bayi ini ke tempest yang jauh,” perintahnya, tapi ingest yes, Mbok, jangan di letakkan di sarang macan. Aku khawatir dimakan.”
“Segala titah Tuan puteri akan hamba laksanakan demi keselamatan Jeng puteri,” jawab si Mbok.
“Maksud Tuan puteri?” tanyanya agak heran.
“Bawalah bayi ini ke tempest yang jauh,” perintahnya, tapi ingest yes, Mbok, jangan di letakkan di sarang macan. Aku khawatir dimakan.”
“Segala titah Tuan puteri akan hamba laksanakan demi keselamatan Jeng puteri,” jawab si Mbok.
Dengan belaian kasih sayang, dilepaslah
bayi itu dari pangkuan ibundanya. Lalu, diserahkannya kepada Si Mbok.
Bayi tersebut dibawanya menuju arah selatan. Sementara pipi sang puteri
penuh dengan deraian air mates mengenang nasib puteranya tercinta.
Menjelang matahari terbit, Si Mbok tadi
telah sampai ke alas gunung selatan. Bayi yang masih kemerah-merahan
itu diletakkan di suatu tempest yang benar-benar terjamin keamanannya.
Di bawah pohon yang rindang itulah sang bayi diletakkan, lalu ditutup
dengan dedaunan. Selesai melaksanakan tugasnya, inang pengasuhnya itu
pulang kembali ke keraton.
Beberapa saat kemudian, inang pengasuhnya tiba di keraton. Dan, memberikan laporannya mengenai tugas yang diberikan.
Diceritakan bahwa di daerah lain, yaitu
di Desa Pakandangan (sekarang Pakandangan termasuk Kecamatan Bluto
Kabupaten Sumenep), hiduplah seorang lakilaki bernama Empo Kelleng.
Dalam kegiatan sehariharinya, is bekerja sebagai pandai besi. Membuat
keris, pisau, dan perkakas pertanian.
Telah sekian tahun lamanya Empo Kelleng
hidup berumah tangga, is masih belum dikarunia keturunan. Berbagai
usaha yang is lakukan, tapi usahanya itu masih belum membuahkan hasil.
Sampai-sampai is pergi ke dukun, tapi tidak berhasil juga.
Di samping sebagai pandai besi, Empo
Kelleng juga memelihara kerbau. Tiap pagi binatang piaraannya itu
diumbar ke hutan. Dan, bila senja pulang sendiri, lalu masuk ke
kandangnya. Begitulah kerbau Empo Kelleng setiap harinya.
Di antara kerbau yang banyak tadi, ada
seekor kerbau betina yang berbulu putih mulus serta paling bagus
dibandingkan yang lain. Ketika bayi tadi dibuang ke hutan, kerbau putih
itu barn selesai menyusui anaknya. Dengan kekuasaan Allah, pada saat
bayi diletakkan di hutan, secara diam-diam kerbau putih tadi berlari ke
tempat bayi itu, lalu menyusuinya. Di samping menyusui, kerbau putih
itu menjaganya agar tidak sampai dimakan binatang buas. Begitulah
pekerjaan sehari-harinya, serta setiap pulang mesti selalu teriambat.
Tingkah laku yang aneh dari kerbau
putihnya itu, membuat Empo Kelleng curiga. Karena itu, is meneliti
setiap kerbaunya pulang dari hutan setelah seharian mencari makan di
tempat tersebut. Sudah berapa hari aku teliti kerbau yang putih ini,
pasti datangnya selalu paling akhir dan perutnya kempes. Badannya
semakin kurus. barangkali kerbau yang satu ini dipekerjakan oleh orang.
Besok akan kubuntuti dari jauh agar aku tahu apa yang menjadi
penyebabnya, pikir Empo Kelleng dalam hatinya.
Keesokan harinya ketika matahari baru
terbit, kerbau-kerbau itu dikeluarkan dari kandangnya sebagaimana
hari-hari sebelumnya. Empo Kelleng melihat kerbau putih keluar serta
berjalan di barisan paling depan. Sedangkan kerbau-kerbau lainnya
ditinggalkan. Lalu Empo Kelleng membuntutinya dari jauh. Sesampainya di
hutan, kerbau putih itu terus menuju ke bawah pohon tempat bayi
diasingkan.
Setelah Empo Kelleng sampai di bawah pohon, is mendapati seorang bayi laki-laki yang sedang disusui kerbau miliknya. Raut wajahnya sangat tampan dan berseri-seri. Betapa gembiranya hati Empo Kelleng sebab dirinya memang sangat mendambakan keturunan.
Setelah Empo Kelleng sampai di bawah pohon, is mendapati seorang bayi laki-laki yang sedang disusui kerbau miliknya. Raut wajahnya sangat tampan dan berseri-seri. Betapa gembiranya hati Empo Kelleng sebab dirinya memang sangat mendambakan keturunan.
Demikianlah, maka bayi tadi
digendongnya dan dibawa pulang ke rumahnya. Isterinya sangat senang,
begitu suaminya menyerahkan bayi tersebut.
“Anak siapa ini, Kak?” tanya isterinya sambil menerima bayi, lalu dipangku dan diusap-usap dahinya.
“Bayi ini kutemukan di hutan tempat kerbau kita mencari makan, ” jawab suaminya dengan perasaan bangga.
“Kasihan ya, Kak. Lalu siapa yang menyusui?” tanyanya lagi.
“Ya, kerbau yang putih itu.” jawab Empo Kelleng.
“Bayi ini kutemukan di hutan tempat kerbau kita mencari makan, ” jawab suaminya dengan perasaan bangga.
“Kasihan ya, Kak. Lalu siapa yang menyusui?” tanyanya lagi.
“Ya, kerbau yang putih itu.” jawab Empo Kelleng.
Nyai Empo yang telah lama mendambakan
kehadiran seorang anak, tanpa disangka-sangka akhirnya menggendong
bayi juga. Walaupun bayi tersebut tidak dilahirkan oleh Nyai Empo,
namun sikapnya bagaikan seorang ibu yang baru melahirkan. Ia minum
jamu, susunya dibuat besar supaya keluar air susu.
Nyai Empo ingin sekali menyusui
bayinya. Namun, usahanya itu tidak berhasil. karena itu, maka bayi
tetap menyusu pada kerbau putih. Dan, memberinya nama “Jokotole”.
Sejak Empo Kelleng mempunyai anak Jokotole, siang ma’am tamu-tamu berdatangan dengan membawa oleh-oleh. Ada yang memberi uang untuk membelikan bajunya. Dan sejak saat itu pula, rezeki keluarga Empo Kelleng semakin bertambah. Dari pemberian orangorang yang berkunjung ke rumahnya menyebabkan Empo Kelleng semakin kaya.
Sejak Empo Kelleng mempunyai anak Jokotole, siang ma’am tamu-tamu berdatangan dengan membawa oleh-oleh. Ada yang memberi uang untuk membelikan bajunya. Dan sejak saat itu pula, rezeki keluarga Empo Kelleng semakin bertambah. Dari pemberian orangorang yang berkunjung ke rumahnya menyebabkan Empo Kelleng semakin kaya.
Lain halnya dengan Raden Ayu Koneng. Ia
bermimpi lagi untuk yang kedua kalinya. Ia didatangi orang yang pernah
datang dalam mimpinya dulu sampai tidur bersama di malam itu. Perstiwa
ini terjadi di keraton Sumenep. Dan, ketika bangun, is terkejut.
Sebentar duduk, kemudian tengkurap ke bantal. Dalam hatinya sangat
gelisah karma peristiwa beberapa tahun yang silam takut terjadi lagi.
“Kalau aku hamil lagi, pasti aku akan dihukum mati oleh orang tuaku.
Mereka pasti me- nyangka bahwa aku tidak mau dinikahkan sebab
mempunyai pacar maling sakti itu,” kata Raden Ayu Potre Koneng dalam
hatinya.
Pada malam itu, is menangis tersedu-sedu, meratapi nasibnya. Mendengar ada orang menangis, lalu inang pengasuhnya bangun.
“Ada apa Tuan Puteri malam-malam begini
menangis? tanyanya terheran-heran. “Tapi dulu-dulunya bila Tuan puteri
bangun tidur, iangsung mengambil air wuduk, terns bersembahyang dan
membaca Al-Qur’an hingga matahari terbit.”
“Aku bermimpi lagi, Mbok,” jawab sang puteri. “Mimpi apa Tuan puteri?” tanyanya lagi.
“Laki-laki yang pernah datang dalam mimpiku dulu, kini datang lagi. Ia mengaku bernama Adipoday. Aku takut, Mbok. Yang jelas kalau ketahuan aku hamil, pasti tidak akan mendapat ampunan dari bapakku.”
“Yuan puteri jangan khawatir. Benar macan itu galak, namun sejak zaman kuno hamba belum pernah mendengar berita bahwa macan itu makan anaknya sendiri,” ujar Si Mbok menenangkan Raden Ayu Potre Koneng.
“Aku bermimpi lagi, Mbok,” jawab sang puteri. “Mimpi apa Tuan puteri?” tanyanya lagi.
“Laki-laki yang pernah datang dalam mimpiku dulu, kini datang lagi. Ia mengaku bernama Adipoday. Aku takut, Mbok. Yang jelas kalau ketahuan aku hamil, pasti tidak akan mendapat ampunan dari bapakku.”
“Yuan puteri jangan khawatir. Benar macan itu galak, namun sejak zaman kuno hamba belum pernah mendengar berita bahwa macan itu makan anaknya sendiri,” ujar Si Mbok menenangkan Raden Ayu Potre Koneng.
Sang puteri kembali agak tenteram jiwanya, walaupun masih ada rasa gelisah dalam perasaannya.
Hari bertambah hari, bulan berganti bulan, perut sang puteri semakin besar. Ia hamil untuk yang kedua kalinya.
Hari bertambah hari, bulan berganti bulan, perut sang puteri semakin besar. Ia hamil untuk yang kedua kalinya.
Bagaimana tanggapan bapak ibunya setelah mengetahui perut puterinya besar?
Biarpun sang puteri berusaha agar bapak ibunya tidak tahu bahwa dirinya hamil, akhirnya ketahuan juga. Pada suatu hari bapak ibunya tahu bahwa perut pu- terinya besar. Namun mereka tidak menanyakan apaapa, sebab hal itu disangka penyakitnya yang dulu kambuh lagi.
Biarpun sang puteri berusaha agar bapak ibunya tidak tahu bahwa dirinya hamil, akhirnya ketahuan juga. Pada suatu hari bapak ibunya tahu bahwa perut pu- terinya besar. Namun mereka tidak menanyakan apaapa, sebab hal itu disangka penyakitnya yang dulu kambuh lagi.
Setelah kehamilan Raden Ayu Potre
Koneng genap bulannya, pada waktu tengah malam lahirlah seorang bayi
laki-laki. Rant wajahnya tidak berbeda dengan Jokotole. Ia sangat
tampan dan berseri-seri.
Demikianlah, bayi yang baru lahir itu hendak diasingkan ke hutan juga sebagaimana kakaknya dulu. Inang
pengasuhnya secara diam-diam
menggendong bayi tersebut menuju arah selatan. Sampai di sebuah hutan
tempat kakaknya dulu diasingkan, lalu si bayi diletakkan di bawah pohon
besar yang menjadi tempat singgah dan tidurnya burung-burung.
Di bawah pohon itu sangat sepi, tidak ada bekas telapak kaki orang berjalan. Dan, sebanyak burung yang berhenti, apalagi burung yang bermalam di pohon samasama memaruhkan makanan ke mulut bayi tersebut seperti memaruhkan makanan pada anaknya sendiri. Itulah yang menjadi makanan bayi sehari-harinya.
Di bawah pohon itu sangat sepi, tidak ada bekas telapak kaki orang berjalan. Dan, sebanyak burung yang berhenti, apalagi burung yang bermalam di pohon samasama memaruhkan makanan ke mulut bayi tersebut seperti memaruhkan makanan pada anaknya sendiri. Itulah yang menjadi makanan bayi sehari-harinya.
Alkisah di daerah lain ada orang yang
bernama Kyai Padhemmabu. Pada waktu malam hari, is melihat cahaya
kemilauan dari arah timur. Saat itu pula is mendekatinya. Semakin
didekati sinar tadi, semakin terang cahayanya. Akhirnya sirna seketika.
Kyai Padhemmabu cepat-cepat mendekati bekas sinar itu, lalu melihat
seorang bayi lakilaki, yang tadinya merupakan seberkas sinar.
Diambilnya bayi tersebut dan digendong, lalu dibawa pulang ke rumahnya.
Sesampai di rumah bayi itu diberikan
kepada anak perempuannya. Anaknya sangat senang ketika menerimanya,
karma mendapat anak tanpa hamil sendiri. Oleh karma itu, maka kehadiran
bayi tersebut dianggap seperti anaknya sendiri. Bayi itu disusui
sendiri, dan diberi nama “Agus Wedi” (Banyak Wedi).
Dalam asuhan Kyai Padhemmabu, bayi Agus
Wedi tumbuh dan berkembang menjadi besar. Kini is telah berusia lima
tahun. Dan, tiap hari tiada lain pekerjaannya adalah ikut menggembala
sapi ke tegal-tegal.
Lain halnya dengan kakaknya, Jokotole.
Ia sudah berumur lebih dari enam tahun. Bila Empo Kelleng hendak
berangkat ke tempat kerjanya, Jokotole ingin ikut, namun tidak
diijinkan karma is sangat nakal, takut terkena apinya. Jokotole memang
sangat disenangi oleh Empo Kelleng dan isterinya.
Keinginan Jokotole untuk ikut bapaknya,
akhirnya terkabul juga. Ia terpaksa ikut ke tempat bapaknya bekerja.
Ketika waktu zuhur tiba, Empo Kelleng dengan Para pekerjanya
beristirahat untuk bersembahyang. Semua perkakas besinya disimpan.
Ketika Empo Kelleng dan Para pekerjanya
bersembahyang, Jokotole lalu menyulut api. Sambil membakar besi,
dibuatlah perkakas seperti arit, beliung, linggis, dan lain-lain.
Bentuknya lebih bagus daripada buatan Empo Kelleng. Sedangkan yang
dipergunakan sebagai perkakas pembuatan adalah lututnya. Lutut
dipergunakan sebagai alas, dan tangannya sebagai palu, jari-jari
sebagai jepit dan kikir. Ada yang mengatakan bahwa cara pembuatannya
hanya dipijit dengan jarijarinya.
Begitu Empo Kelleng dan para pekerjanya
selesai bersembahyang, lalu mereka melihat banyak perkakas yang sudah
selesai dibuat. Mereka merasa heran melihat perkakas sebanyak itu.
Namun tidak menyangka sama sekali bahwa hal itu hasil pekerjaan
Jokotole.
Selanjutnya pekerjaan itu dikerjakan
oleh Jokotole sampai beberapa hari, namun tak satu pun orang yang tahu.
(R.Werdisastra dalam BABAD MADURA)
dikutip dari : http://potrekonengsumenep.wordpress.com
dilanjut dong ceritaxa?
BalasHapuse arep..
Aku carikan dulu yaaa lanjutannya..
Hapus